Di usianya yang mengingak 47 tahun, Lee Jae-Yong adalah salah seorang figur dunia bisnis yang mendapat sorotan luar biasa. Layaknya bintang panggung, gerak - geriknya di pentas terus diamati. Namun, alih - alih tatapan kekaguman, sorotan publik cenderung negatif. Ada keraguan pada dirinya. Ya, dia dipertanyakan seputar kemampuannya menjaga sekaligus memperbesar sebuah imperium bisnis raksasa dari negeri Ginseng yang sebentar lagi jatuh ke genggamannya.
Begitulah. Setelah ayahnya, Lee Kun-hee terkena serangan jantung di tahun 2014, orang memang berpaling pada Jay - begitu Lee Jae Yong memanggil dirinya - terlebih setelah 14 Mei 2015 saat Jay didapuk menjadi chairman dua yayasan milik keluarganya (Samsung Foundation of Culture yang mengurusi Leeum, museum keluarga pendiri Samsung, dan Samsung Life Public Welfare Foundation, yang bergerak dibidang kesehatan, terutama perawatan anak - anak dari orang tak mampu). Posisi ini diyakini menjadi tahapan penting untuk benar - benar menggantikan posisi sang ayah. Di Korea Selatan, yayasan sering kali dilihat sebagai "wajah keluarga" di masyarakat.
Kalaulah orang menaruh perhatian pada Jay, janganlah heran. Maklum, Lee adalah bos besar Samsung, raksasa bisnis dari Kor-Sel. Ibarat kapal induk, kelompok usaha ini memuat 67 bisnis besar yang terentang dari appareal, taman bermain, mesin cuci, televisi, ponsel, alat berat, hingga jasa keuangan. Lalu, dengan pendapatan tahunan lebih dari US$ 300 Milliar, Samsung merupakan pabrikan terbesar di dunia. Artinya, ini memang bisnis yang luar biasa besar sehingga bila ambruk, menimbulkan ekses yang mahadahsyat. Dalam bahasa kerennya, too big to fall, termasuk bagi Kor-Sel sendiri. Bagaimana tidak, Samsung menyumbang 17% produk domestic bruto Negeri Gingseng.
Menimbang besarnya bisnis Samsung, maka wajarlah Jay jadi sorotan. Persoalannya, lelaki berkacamata ini amat diragukan kemampuannya menakhkodai biduk besar tersebut. Dan tatapan publik makin deras mengalir lantaran Samsung dalam kondisi yang tidak prima. Ya, sudah dua tahun sang raksasa seperti diserang flu berat. Terutama untuk bisnis smartphone-nya dibawah bendera Samsung Electronics yang bersama bisnis chip memori menjadi tulang punggungnya.
Bisnis smartphone Samsung memang tengah menurun. Betul bahwa ponsel cerdasnya masih menguasai pangsa pasar global. Namun, mereka bonyok dihajar pemain lain, terutama dari China, khususnya Xiaomi yang sungguh fenomenal. Pada kuartal II/2015, Samsung masih memimpin pangsa pasar dengan menguasai 21.4%. Setelah itu menyusul Apple (13%), Huawei (8.7%), Xiaomi (5.6%), dan Lenovo (4.7%). Akan tetapi, dari tahun ke tahun, sejatinya pasar Samsung terus merosot. Di periode yang sama pada tahun 2014, pangsa pasarnya 24.8%. Turun dibanding tahun 2013 (31.9%) dan 2012 (32.2%).
Repotnya, bukan pangsa pasar yang digerus. Laba Samsung pun terjun sementara laba pesaing beratnya, Apple, malah terus merangkak naik lantaran berkutat di high-end dan begitu pun China yang bermain dengan harga lebih murah.
Pada kuartal II/2015, laba operasional Samsung Electronics hanya US$ 5.9 miliar dari total pendapatan US$41 miliar. Laba ini melorot dibanding periode yang sama tahun 2014 yang sebesar US$ 6.17 miliar. Kinerja ini berkebalikan dibanding Apple. Di periode yang sama 2015, perusahaan peninggalan mendiang Steve Jobs itu mencetak penjualan US$ 49.6 miliar dan laba US$ 10.7 milar. Performanya meningkat dibandingkan periode 2014 (penjualan US$ 37.4 miliar dan laba US$ 7.7 miliar).
Dengan kondisi itu, tak heranlah Jay jadi pusat perhatian. Transisi ini memang sungguh kritikal bagi Samsung. Dan sekalipun baru menjadi chariman dua yayasan keluarga, sejatinya Jay memang tinggal menunggu waktu. Pasalnya, kendati kondisinya stabil, Lee (73 tahun) tak mampu berkomunikasi sehingga diperkirakan tidak akan pernah bisa kembali bekerja. Jay sendiri sebelumnya berposisi sebagai Vice Chairman Samsung Electronics, diangkat tahun 2013 setelah memulai karier tahun 1991.
Ada banyak alasan mengapa Jay diragukan. Sewaktu Lee Kun Hee mengambil posisi ayahnya (Lee Byung Chul) setelah sang pendiri Samsung itu meninggal di tahun 1987, orang mengenang bagaimana sosoknya. Lee dikenal visioner, tegas, kharismatic. Tak berapa lama di pucuk korporasi, Lee yang alumni Waseda University (Jepang) dan George Washington University (Amerika Serikat) memproklamirkan tekadnya yang waktu itu tampaknya sulit diraih : mengubah konglomerat kelas biasa - biasa saja peninggalan sang ayah menjadi raksasa global, seperti halnya IBM atau General Electric.
Publik menilai visi Lee tak ubahnya orang yang hendak mendaki gunung yang tinggi. Namun, terbukti, Lee mampu merealisasikannya. Strateginya : berinvestasi besar pada teknologi. Bukan hanya itu kunci suksesnya. Dia juga menerapkan gaya manajemen yang kuat. Di tahun 1993, misalnya, dia tiba - tiba meminta semua manajer seniornya meninggalkan seluruh pekerjaan untuk terbang ke frangfrut, dimana dia memberikan pandangannya tentang bisnis. Selama tiga hari, Lee tak berhenti ngoceh membeberkan apa saja pandangannya buat Samsung dan apa yang mesti mereka lakukan.
Hingga kini, tak banyak artikel, baik di media lokal maupun internasional yang mengulas figur bos muda. Tulisan di media barat malah cenderung mengulang - ngulang angle yang sama : anak muda yang nada bicaranya perlahan, yang belum punya prestasi yang pantas untuk dibanggakan.
Ya, Jay memang diragukan. Saking ragunya, pernah satu waktu, 50 orang fund manager, analis pasar modal dan pengamat bisnis di Kor-Sel ditanya tentang 11 generasi penerus para chaebol di Negeri Ginseng. Hasilnya : Jay berada di peringkat ke 7 dalam hal abilitas kepemimpinan, dan posisi terakhir dalam hal legitimasi mewarisi kerajaan orang tuanya. "Ya, bagaimanapun dia kan lahir dengan sendok perak. Kami sendiri tak tahu apakah dia mampu menjalankan bisnis karena belum ada rekam jejaknya, celetuk seorang eksekutif senior Samsung yang namanya menolak disebutkan.
Pahit memang. Namun, orang memang sering membandingkan ayah dan anak ini. Celakanya, mereka seperti langit dan bumi. Ketika Galaxy S meluncur dan gagal d pasar, misalnya, media Kor-Sel menyebutnya, "Ini ponselnya Lee Jae Yong" karena dianggap dapat sentuhan sang putra mahkota yang diberi posisi Vice Chairman Samsung Electronics. Malang, ponsel ini jeblok di pasar. Aneka kajian yang didapat sering kali tak bikin bangga. Posisi ini berkebalikan 180 derajat dibanding prestasi sang ayah, yang meluncurkan SGH-T100 tahun 2002. Inilah produk hebat Samsung yang pertama, yang menjadi legenda, dan terjual lebih dari 10 juta unit. Media Kor-Sel menyebutnya, "Ponsel Lee Kun-hee". Dan sadisnya, mereka membandingkan ksuksesan itu dengan Galaxy S6.
Tentu saja, komparasi ini seakan menggiring pada satu kesimpulan : Jay tak layak menggantikan ayahnya. Namun, apakah dia benar - benar serapuh itu ? Sekalipun banyak orang yang meragukan kapasitas dan kapabilitasnya, seungguhnya lelaki ini telah berupaya digembleng sang ayah untuk menjadi pemimpin yang tangguh. Lee membuat jabatan Chief Customer Office (CCO) Samsung untuk anaknya. Ini adalah pekerjaan yang khusus diciptakan untuk anak laki - laki satu - satunya itu - dua anak lainnya perempuan.
Sebagai CCO Samsung, Jay ditugaskan menjalin hubungan yang tricky dengan para kompetitor. Diantaranya, dia menjalin hubungan dengan mendiang Steve Jobs. Juga punya relasi yang baik dengan Tim Cook, penerus Jobs. Hubungan Jay pun baik dengan pemilik raksasa lainnya, Google.
Jay memang bukan orator. Sekalipun dianggap tak akan mampu seperti ayahnya yang bisa bicara panjang lebar selama 3 hari kepada direksi dan manajer, dia diasumsikan akan mempu berkonsentrasi pada isu strategis yang dalam beberapa segi, justri itulah masalah yang dianggap lebih berat dibanding yang dihadapi ayahnya pada tahun 1987. Sekarang, karywawan hampir setengah juga di seluruh dunia. Jay dituntut mampu mengelola secara seimbang tiga hal berikut. Pertama, antara kompetisi dan kerja sama dengan para pesaing. Kedua, antara piranti lunak dan piranti keras. Dan ketiga yang lebih penting lagi, menggabungkan antara akar Samsung di Korea dengan kehadirannya di pentas global.
Mari kita lihat yang pertama.
Di industri elektronik dan industri berbasis teknologi lainnya, kini salah satu skill yang paling penting bagi seorang bos perusahaan yang bergelut didalamnya adalah mengelola hubungan yang begitu kompleks dengan para pesaing. Satu waktu berkompetisi, di lain hari berkoopetisi, sementara pada saat lain bekerja sama. Bagi Samsung, Apple bukan hanya rival paling sengit dalam menjual ponsel cerdas, tetapi juga pelanggan terbesar semi-konduktor keluaran Samsung. Sementara itu, ponsel Samsung berjalan di atas sistem operasional Android milik Google., menjadikan keduanya sebagai mitra. Namun, Samsung terus pula berinvestasi besar di Tizen, sistem operasi miliknya, yang disebutnya punya kehebatan untuk ponsel yang lebih sederhana. Hubungan yang rumit dan kompleks.
Adapun pada hal yang kedua, penjualan peranti keras dan peranti lunak bisa berjalan beriringan. Menjual ponsel cerdas tak bisa dilepaskan dengan peranti lunak didalamnya. Pada beberapa hal, penjualan peranti lunak bahkan bisa sangat menguntungkan dengan layanan online, terlebih di era komputasi awan seperti sekarang. Apple dengan itunes-nya telah membuktikan hal tersebut.
Di dua persoalan ini, Jay disebut - sebut justru mampu bermain cantik. Dengan Apple, misalnya. Hubungan yang baik, yang sedikit banyak dijembatani Jay telah menolong kedua perusahaan dar jerat pertengkaran yang lebih hebat atas masalah paten. Memang, Apple mendapat hampir US$ 1 miliar setelah meyakinkan juri bahwa ponsel Galaxy mencontek sejumlah aspek dari iPhone.
Namun, setidaknya persoalan tidak melebar kemana-mana. Jay bahkan hadir saat Steve Jobs dimakamkan dalam upacara yang dihadiri oleh kalangan terbatas pada 7 Oktober 2011. Sedikit banyak, ini menunjukkan kedekatan Apple dan Samsung. "Jay itupemikir strategis. Dia tahan berjam - jam bertemu dengan klien penting dan mencapai kesepakatan bisnis", ujar seorang eksekutif senior Samsung menuju bosnya.
Adapun untuk hal yang kedua, bagi sejumlah pihak, Jay dianggap mampu turut melakukan keseimbangan. Di bawah Lee, Samsung telah berupaya membangun kemampuan software internal. Samsung mempekerjakan ribuan programmer. Sementara itu, Jay cenderung mengakusisi keahlian. Beberapa waktu lau, Samsung membeli dua perusahaan Start Up : SmartThings yang membuat peranti lunak yang menghubungkan sejumlah appliance (yang mengantisipasi era Internet of Things) dan Looppay, layanan mobile payment.
Di dua titik ini, Jay dianggap bisa memainkan peran strategis. Hal yang sama juga diharapkan bisa dimainkannya pada persoalan yang ketiga. Memang, hal ini yang paling sulit : tetap mempertahankan akar Korea dan menjadi sepenuhnya global. Mengapa Sulit ?
Kekuatan terbesar Samsung adalah disiplin dan loyalitas yang tertanam pada karyawannya. Begitu seorang pemimpin menentukan tujuan, karyawan berbaris untuk mencapainya. Budaya ini mudah mempertahankannya ketika Samsung masih perusahaan Kos-Sel atau penuh dengan insyinyur Korea. Sekarang karyawan datang dari berbagai penjuru dunia dengan latar belakang budaya yang sangat berbeda. Samsung perlu menjadi organisasi yang open-minded, yang menerima kreativitas dari manapun.
Lantas, bisakah Jay menyelesaikan itu ? Hal yang positif setidaknya, budaya korporasi Korea bukanlah sekonformis seperti halnya Jepang dimana setidaksetujuan adalah tabu, seperti dikatakan MarkNweman, analis di Sanford C Bernstein, yang juga mantan karyawan Samsung. Dan Jay dengan pendidikan Barat-nya, dianggap memahami hal ini dengan baik. Duda dua anak ini sebelumnya belajar sejarah Asia di Seoul National University, lalu sekolah bisnis di Keio University (Jepang) kemudian mengikuti program doktoral di Harvard Business School, fokus pada e-commerce. Jay dikenal sangat fasih berbahasa Inggris dan Jepang.
Yang jelas, sesungguhnya bukan hanya menggabungkan spirit Korea di tengah perusahaan yang makin meng-global, yang dituntut dari Jay. Bahkan untuk urusan antara peranti lunak dan peranti keras pun, dia telah dituntut untuk menciptakan organisasi yang adaptif. Di tengah upaya Samsung menyeimbangkan antara hardware dan software, diantaranya dengan mengembangkan Tizen, Jay menghadapi persoalan : Kultur Samsung masih didominasi oleh para engineer Hardware. Ini ditengarai akan menyulitkan sewaktu berhadapan dengan Xiaomi yang banyak mengambil pangsa pasar Samsung di China. Xiaomi disebut - sebut mirip Apple yang budayanya cenderung kuat di Engineer Software.
Di tiga titik inilah bos Samsung akan berkutat. Dan Jay dianggap tidaklah serapuh yang dibayangkan atau diobrolkan orang. Mereka yang mengenal Jay memang menyebutnya pemalu. Akan tetapi, gambaran itu tidak sepenuhnya benar. Apalagi bila dia aajak bicara tentang proyek masa depan Samsung. Apa itu ?
Untuk menghindarinasib buruk yang banyak menimpa perusahaan besar, Samsung kini sangat fokus pada inovasi. Contohnya, chip smartphone-nya disebut - sebut lebih superior dibanding intel. Untuk menciptakan terobosan, Samsung Electronics bahkan membelanjakan hampir US$ 14 miliar pada riset dan pengembangan di tahun 2014. Jauh diatas yang dilontarkan Apple (US$ 6 miliar) di tahun 2014.
Namun, bukan hanya itu yang dilakukan. Jay akan bersemangat begitu membicarakan rencana Samsung menjadi pabrikan buat perusahaan obat, proyek yang isebut - sebut sebagai "baby-nya". Memang, disamping tetap menggenjot bisnis yang sudah ada, terutama yang bernaung dibawah Samsung Electronics, satu mesin pertumbuhan yang tengah dipacu adalah peralatan medis. Dan Jay menjadi pemimpin rencana besar ini. Jay sendiri berencana menjadikan Samsung pemain besar di bidang contract manufactur obat - obatan bioteknologi. Samsung hendak menyediakan pabrik yang ultrabersih dengan kualitas sangat tinggi. Dengan berkonsentrasi dan membiarkan perusahaan farmasi mendesain dan memasarkan obat, Samsung diharapkan akan dominan di industri pembuatan obat, seperti halnya di industri chipmaking.
Akahkah rencana ini terealisasi, jelas masih ditunggu. Begitu pun, akahkah Jay sekuat ayahnya dalam merealisasikan keinginannya ? Yang jelas, bila melihat ke tahun 1987, saat Lee menancapkan ambisinya untuk Samsung, bisa dikatakan rencana Samsung di obat - obatan adalah menjadi bagian dari ambisi sang putra mahkita. Keraguan jelas wajar menghinggapi dirinya karena sebagai orang dalam di Samsung Electronics, ia dianggap belum mampu menghadang laju Apple dan pemain - pemain China yang trengginas. Toh, bisnis adalah bicara angka. Bila aktor dinilai dari aktingnya, Jay kelak akan dinilai dari angka penjualan dan laba bersih $.
Sumber : Majalah SWA edisi XXXI 29 Oktober - 11 November 2015
Begitulah. Setelah ayahnya, Lee Kun-hee terkena serangan jantung di tahun 2014, orang memang berpaling pada Jay - begitu Lee Jae Yong memanggil dirinya - terlebih setelah 14 Mei 2015 saat Jay didapuk menjadi chairman dua yayasan milik keluarganya (Samsung Foundation of Culture yang mengurusi Leeum, museum keluarga pendiri Samsung, dan Samsung Life Public Welfare Foundation, yang bergerak dibidang kesehatan, terutama perawatan anak - anak dari orang tak mampu). Posisi ini diyakini menjadi tahapan penting untuk benar - benar menggantikan posisi sang ayah. Di Korea Selatan, yayasan sering kali dilihat sebagai "wajah keluarga" di masyarakat.
Kalaulah orang menaruh perhatian pada Jay, janganlah heran. Maklum, Lee adalah bos besar Samsung, raksasa bisnis dari Kor-Sel. Ibarat kapal induk, kelompok usaha ini memuat 67 bisnis besar yang terentang dari appareal, taman bermain, mesin cuci, televisi, ponsel, alat berat, hingga jasa keuangan. Lalu, dengan pendapatan tahunan lebih dari US$ 300 Milliar, Samsung merupakan pabrikan terbesar di dunia. Artinya, ini memang bisnis yang luar biasa besar sehingga bila ambruk, menimbulkan ekses yang mahadahsyat. Dalam bahasa kerennya, too big to fall, termasuk bagi Kor-Sel sendiri. Bagaimana tidak, Samsung menyumbang 17% produk domestic bruto Negeri Gingseng.
Menimbang besarnya bisnis Samsung, maka wajarlah Jay jadi sorotan. Persoalannya, lelaki berkacamata ini amat diragukan kemampuannya menakhkodai biduk besar tersebut. Dan tatapan publik makin deras mengalir lantaran Samsung dalam kondisi yang tidak prima. Ya, sudah dua tahun sang raksasa seperti diserang flu berat. Terutama untuk bisnis smartphone-nya dibawah bendera Samsung Electronics yang bersama bisnis chip memori menjadi tulang punggungnya.
Bisnis smartphone Samsung memang tengah menurun. Betul bahwa ponsel cerdasnya masih menguasai pangsa pasar global. Namun, mereka bonyok dihajar pemain lain, terutama dari China, khususnya Xiaomi yang sungguh fenomenal. Pada kuartal II/2015, Samsung masih memimpin pangsa pasar dengan menguasai 21.4%. Setelah itu menyusul Apple (13%), Huawei (8.7%), Xiaomi (5.6%), dan Lenovo (4.7%). Akan tetapi, dari tahun ke tahun, sejatinya pasar Samsung terus merosot. Di periode yang sama pada tahun 2014, pangsa pasarnya 24.8%. Turun dibanding tahun 2013 (31.9%) dan 2012 (32.2%).
Repotnya, bukan pangsa pasar yang digerus. Laba Samsung pun terjun sementara laba pesaing beratnya, Apple, malah terus merangkak naik lantaran berkutat di high-end dan begitu pun China yang bermain dengan harga lebih murah.
Pada kuartal II/2015, laba operasional Samsung Electronics hanya US$ 5.9 miliar dari total pendapatan US$41 miliar. Laba ini melorot dibanding periode yang sama tahun 2014 yang sebesar US$ 6.17 miliar. Kinerja ini berkebalikan dibanding Apple. Di periode yang sama 2015, perusahaan peninggalan mendiang Steve Jobs itu mencetak penjualan US$ 49.6 miliar dan laba US$ 10.7 milar. Performanya meningkat dibandingkan periode 2014 (penjualan US$ 37.4 miliar dan laba US$ 7.7 miliar).
Dengan kondisi itu, tak heranlah Jay jadi pusat perhatian. Transisi ini memang sungguh kritikal bagi Samsung. Dan sekalipun baru menjadi chariman dua yayasan keluarga, sejatinya Jay memang tinggal menunggu waktu. Pasalnya, kendati kondisinya stabil, Lee (73 tahun) tak mampu berkomunikasi sehingga diperkirakan tidak akan pernah bisa kembali bekerja. Jay sendiri sebelumnya berposisi sebagai Vice Chairman Samsung Electronics, diangkat tahun 2013 setelah memulai karier tahun 1991.
Ada banyak alasan mengapa Jay diragukan. Sewaktu Lee Kun Hee mengambil posisi ayahnya (Lee Byung Chul) setelah sang pendiri Samsung itu meninggal di tahun 1987, orang mengenang bagaimana sosoknya. Lee dikenal visioner, tegas, kharismatic. Tak berapa lama di pucuk korporasi, Lee yang alumni Waseda University (Jepang) dan George Washington University (Amerika Serikat) memproklamirkan tekadnya yang waktu itu tampaknya sulit diraih : mengubah konglomerat kelas biasa - biasa saja peninggalan sang ayah menjadi raksasa global, seperti halnya IBM atau General Electric.
Publik menilai visi Lee tak ubahnya orang yang hendak mendaki gunung yang tinggi. Namun, terbukti, Lee mampu merealisasikannya. Strateginya : berinvestasi besar pada teknologi. Bukan hanya itu kunci suksesnya. Dia juga menerapkan gaya manajemen yang kuat. Di tahun 1993, misalnya, dia tiba - tiba meminta semua manajer seniornya meninggalkan seluruh pekerjaan untuk terbang ke frangfrut, dimana dia memberikan pandangannya tentang bisnis. Selama tiga hari, Lee tak berhenti ngoceh membeberkan apa saja pandangannya buat Samsung dan apa yang mesti mereka lakukan.
Hingga kini, tak banyak artikel, baik di media lokal maupun internasional yang mengulas figur bos muda. Tulisan di media barat malah cenderung mengulang - ngulang angle yang sama : anak muda yang nada bicaranya perlahan, yang belum punya prestasi yang pantas untuk dibanggakan.
Ya, Jay memang diragukan. Saking ragunya, pernah satu waktu, 50 orang fund manager, analis pasar modal dan pengamat bisnis di Kor-Sel ditanya tentang 11 generasi penerus para chaebol di Negeri Ginseng. Hasilnya : Jay berada di peringkat ke 7 dalam hal abilitas kepemimpinan, dan posisi terakhir dalam hal legitimasi mewarisi kerajaan orang tuanya. "Ya, bagaimanapun dia kan lahir dengan sendok perak. Kami sendiri tak tahu apakah dia mampu menjalankan bisnis karena belum ada rekam jejaknya, celetuk seorang eksekutif senior Samsung yang namanya menolak disebutkan.
Pahit memang. Namun, orang memang sering membandingkan ayah dan anak ini. Celakanya, mereka seperti langit dan bumi. Ketika Galaxy S meluncur dan gagal d pasar, misalnya, media Kor-Sel menyebutnya, "Ini ponselnya Lee Jae Yong" karena dianggap dapat sentuhan sang putra mahkota yang diberi posisi Vice Chairman Samsung Electronics. Malang, ponsel ini jeblok di pasar. Aneka kajian yang didapat sering kali tak bikin bangga. Posisi ini berkebalikan 180 derajat dibanding prestasi sang ayah, yang meluncurkan SGH-T100 tahun 2002. Inilah produk hebat Samsung yang pertama, yang menjadi legenda, dan terjual lebih dari 10 juta unit. Media Kor-Sel menyebutnya, "Ponsel Lee Kun-hee". Dan sadisnya, mereka membandingkan ksuksesan itu dengan Galaxy S6.
Tentu saja, komparasi ini seakan menggiring pada satu kesimpulan : Jay tak layak menggantikan ayahnya. Namun, apakah dia benar - benar serapuh itu ? Sekalipun banyak orang yang meragukan kapasitas dan kapabilitasnya, seungguhnya lelaki ini telah berupaya digembleng sang ayah untuk menjadi pemimpin yang tangguh. Lee membuat jabatan Chief Customer Office (CCO) Samsung untuk anaknya. Ini adalah pekerjaan yang khusus diciptakan untuk anak laki - laki satu - satunya itu - dua anak lainnya perempuan.
Sebagai CCO Samsung, Jay ditugaskan menjalin hubungan yang tricky dengan para kompetitor. Diantaranya, dia menjalin hubungan dengan mendiang Steve Jobs. Juga punya relasi yang baik dengan Tim Cook, penerus Jobs. Hubungan Jay pun baik dengan pemilik raksasa lainnya, Google.
Jay memang bukan orator. Sekalipun dianggap tak akan mampu seperti ayahnya yang bisa bicara panjang lebar selama 3 hari kepada direksi dan manajer, dia diasumsikan akan mempu berkonsentrasi pada isu strategis yang dalam beberapa segi, justri itulah masalah yang dianggap lebih berat dibanding yang dihadapi ayahnya pada tahun 1987. Sekarang, karywawan hampir setengah juga di seluruh dunia. Jay dituntut mampu mengelola secara seimbang tiga hal berikut. Pertama, antara kompetisi dan kerja sama dengan para pesaing. Kedua, antara piranti lunak dan piranti keras. Dan ketiga yang lebih penting lagi, menggabungkan antara akar Samsung di Korea dengan kehadirannya di pentas global.
Mari kita lihat yang pertama.
Di industri elektronik dan industri berbasis teknologi lainnya, kini salah satu skill yang paling penting bagi seorang bos perusahaan yang bergelut didalamnya adalah mengelola hubungan yang begitu kompleks dengan para pesaing. Satu waktu berkompetisi, di lain hari berkoopetisi, sementara pada saat lain bekerja sama. Bagi Samsung, Apple bukan hanya rival paling sengit dalam menjual ponsel cerdas, tetapi juga pelanggan terbesar semi-konduktor keluaran Samsung. Sementara itu, ponsel Samsung berjalan di atas sistem operasional Android milik Google., menjadikan keduanya sebagai mitra. Namun, Samsung terus pula berinvestasi besar di Tizen, sistem operasi miliknya, yang disebutnya punya kehebatan untuk ponsel yang lebih sederhana. Hubungan yang rumit dan kompleks.
Adapun pada hal yang kedua, penjualan peranti keras dan peranti lunak bisa berjalan beriringan. Menjual ponsel cerdas tak bisa dilepaskan dengan peranti lunak didalamnya. Pada beberapa hal, penjualan peranti lunak bahkan bisa sangat menguntungkan dengan layanan online, terlebih di era komputasi awan seperti sekarang. Apple dengan itunes-nya telah membuktikan hal tersebut.
Di dua persoalan ini, Jay disebut - sebut justru mampu bermain cantik. Dengan Apple, misalnya. Hubungan yang baik, yang sedikit banyak dijembatani Jay telah menolong kedua perusahaan dar jerat pertengkaran yang lebih hebat atas masalah paten. Memang, Apple mendapat hampir US$ 1 miliar setelah meyakinkan juri bahwa ponsel Galaxy mencontek sejumlah aspek dari iPhone.
Namun, setidaknya persoalan tidak melebar kemana-mana. Jay bahkan hadir saat Steve Jobs dimakamkan dalam upacara yang dihadiri oleh kalangan terbatas pada 7 Oktober 2011. Sedikit banyak, ini menunjukkan kedekatan Apple dan Samsung. "Jay itupemikir strategis. Dia tahan berjam - jam bertemu dengan klien penting dan mencapai kesepakatan bisnis", ujar seorang eksekutif senior Samsung menuju bosnya.
Adapun untuk hal yang kedua, bagi sejumlah pihak, Jay dianggap mampu turut melakukan keseimbangan. Di bawah Lee, Samsung telah berupaya membangun kemampuan software internal. Samsung mempekerjakan ribuan programmer. Sementara itu, Jay cenderung mengakusisi keahlian. Beberapa waktu lau, Samsung membeli dua perusahaan Start Up : SmartThings yang membuat peranti lunak yang menghubungkan sejumlah appliance (yang mengantisipasi era Internet of Things) dan Looppay, layanan mobile payment.
Di dua titik ini, Jay dianggap bisa memainkan peran strategis. Hal yang sama juga diharapkan bisa dimainkannya pada persoalan yang ketiga. Memang, hal ini yang paling sulit : tetap mempertahankan akar Korea dan menjadi sepenuhnya global. Mengapa Sulit ?
Kekuatan terbesar Samsung adalah disiplin dan loyalitas yang tertanam pada karyawannya. Begitu seorang pemimpin menentukan tujuan, karyawan berbaris untuk mencapainya. Budaya ini mudah mempertahankannya ketika Samsung masih perusahaan Kos-Sel atau penuh dengan insyinyur Korea. Sekarang karyawan datang dari berbagai penjuru dunia dengan latar belakang budaya yang sangat berbeda. Samsung perlu menjadi organisasi yang open-minded, yang menerima kreativitas dari manapun.
Lantas, bisakah Jay menyelesaikan itu ? Hal yang positif setidaknya, budaya korporasi Korea bukanlah sekonformis seperti halnya Jepang dimana setidaksetujuan adalah tabu, seperti dikatakan MarkNweman, analis di Sanford C Bernstein, yang juga mantan karyawan Samsung. Dan Jay dengan pendidikan Barat-nya, dianggap memahami hal ini dengan baik. Duda dua anak ini sebelumnya belajar sejarah Asia di Seoul National University, lalu sekolah bisnis di Keio University (Jepang) kemudian mengikuti program doktoral di Harvard Business School, fokus pada e-commerce. Jay dikenal sangat fasih berbahasa Inggris dan Jepang.
Yang jelas, sesungguhnya bukan hanya menggabungkan spirit Korea di tengah perusahaan yang makin meng-global, yang dituntut dari Jay. Bahkan untuk urusan antara peranti lunak dan peranti keras pun, dia telah dituntut untuk menciptakan organisasi yang adaptif. Di tengah upaya Samsung menyeimbangkan antara hardware dan software, diantaranya dengan mengembangkan Tizen, Jay menghadapi persoalan : Kultur Samsung masih didominasi oleh para engineer Hardware. Ini ditengarai akan menyulitkan sewaktu berhadapan dengan Xiaomi yang banyak mengambil pangsa pasar Samsung di China. Xiaomi disebut - sebut mirip Apple yang budayanya cenderung kuat di Engineer Software.
Di tiga titik inilah bos Samsung akan berkutat. Dan Jay dianggap tidaklah serapuh yang dibayangkan atau diobrolkan orang. Mereka yang mengenal Jay memang menyebutnya pemalu. Akan tetapi, gambaran itu tidak sepenuhnya benar. Apalagi bila dia aajak bicara tentang proyek masa depan Samsung. Apa itu ?
Untuk menghindarinasib buruk yang banyak menimpa perusahaan besar, Samsung kini sangat fokus pada inovasi. Contohnya, chip smartphone-nya disebut - sebut lebih superior dibanding intel. Untuk menciptakan terobosan, Samsung Electronics bahkan membelanjakan hampir US$ 14 miliar pada riset dan pengembangan di tahun 2014. Jauh diatas yang dilontarkan Apple (US$ 6 miliar) di tahun 2014.
Namun, bukan hanya itu yang dilakukan. Jay akan bersemangat begitu membicarakan rencana Samsung menjadi pabrikan buat perusahaan obat, proyek yang isebut - sebut sebagai "baby-nya". Memang, disamping tetap menggenjot bisnis yang sudah ada, terutama yang bernaung dibawah Samsung Electronics, satu mesin pertumbuhan yang tengah dipacu adalah peralatan medis. Dan Jay menjadi pemimpin rencana besar ini. Jay sendiri berencana menjadikan Samsung pemain besar di bidang contract manufactur obat - obatan bioteknologi. Samsung hendak menyediakan pabrik yang ultrabersih dengan kualitas sangat tinggi. Dengan berkonsentrasi dan membiarkan perusahaan farmasi mendesain dan memasarkan obat, Samsung diharapkan akan dominan di industri pembuatan obat, seperti halnya di industri chipmaking.
Akahkah rencana ini terealisasi, jelas masih ditunggu. Begitu pun, akahkah Jay sekuat ayahnya dalam merealisasikan keinginannya ? Yang jelas, bila melihat ke tahun 1987, saat Lee menancapkan ambisinya untuk Samsung, bisa dikatakan rencana Samsung di obat - obatan adalah menjadi bagian dari ambisi sang putra mahkita. Keraguan jelas wajar menghinggapi dirinya karena sebagai orang dalam di Samsung Electronics, ia dianggap belum mampu menghadang laju Apple dan pemain - pemain China yang trengginas. Toh, bisnis adalah bicara angka. Bila aktor dinilai dari aktingnya, Jay kelak akan dinilai dari angka penjualan dan laba bersih $.
Sumber : Majalah SWA edisi XXXI 29 Oktober - 11 November 2015
Putra Mahkota Samsung yang Diragukan
Reviewed by Ryan Angga
on
5:57:00 PM
Rating:
No comments:
Post a Comment