Ketika Samsung menjual Galaxy S6 yang sarat teknologi canggih dan dibanderol di atas harga Rp. 9.000.000, sebenarnya sudah ada indikasi bahwa kini telah lahir pasar premium yang sesungguhnya. iPhone tidak sendirian. Hanya dua pemain besar ini saja yang punya nama di kelompok papan atas.
Sony dan LG bahkan tak berani ambil resiko imbangi dua nama tadi. Lihat saja, LG dengan seri terbarunya, LG G4. Sangat tepat memilih angka Rp. 8,5 Jutaan, kendari secara mutu boleh sejajar dengan Galaxy S6. Sony belum melanjutkan seri Xperia Z-nya. Kabar burung akan merilis generasi Z4 ternyata dijawab dengan mengeluarkan seri Xperia Z3+. Tampaknya Sony akan pasang harga tak beda jauh dengan Xperia Z3 yang kini dijual di harga Rp. 6,9 Jutaan.
Dengan kata lain, sebenarnya di bawah level premium, ada layer high end yang lain, yaitu produsen smartphone yang memilih menjual produknya di harga Rp. 5 - 9 jutaan.
Era Mid End
Kalau kita melihat gerak gerik Xiaomi yang punya jurus sikat segmen low end dengan smartphone dengan harga terjangkau, Anda keliru. Benar bahwa Xiaomi mengurangi segala hal yang tidak perlu sehingga ketemu harga jual yang pas. Ini seperti strategi penerbangan murah, mengurangi layanan makanan, kemudian melakukan penjualan tiket lewat online dan mobile.
Xiaomi meniadakan earphone sebagai bonus paket penjualan. Menggelar flash sale / penjualan lewat online untuk memangkas biaya distribusi. Trik ini sekaligus untuk menjamin ketersediaan stok barang. Selain itu, resiko barang menumpuk akibat tidak laku di pasar juga dapat dihindari.
Walaupun demikian, Xiaomi tidak mau bermain - main di pasar low end yang identik dengan smartphone entry level seharga di bawah Rp. 1 Jutaan. Bahkan, di pasaran Xiaomi menjual produknya di rentang harga Rp. 1,5 - 3.8 Jutaan. Tidak mula memilih angka Rp. 4 juta ke atas yang sebenarnya sudah dikuasai rombongan smartphone kategori high end.
Singkat cerita, Xiaomi sesungguhnya tengah meramaikan segmen mid end. Segmen yang paling sesuai dengan tingkat pendapatan mayoritas kelas menengah Indonesia. Maka, ketika Asus memperbaiki semua produk, termasuk desain, kemudian lahirlah seri Zenfone (seri 4, 5, dan 6), saat itulah produsen smartphone asal taiwan tersebut terjadi. Sebuah hal yang tidak dilakukan pesaingnya sejak lama, Acer.
Lalu, siapa saja yang bermain di level mid end ini ?
Ada Lenovo yang sepak terjangnya setahun ini mulai agresif. Dua seri, A dan P dihadirkan dengan cepat. Setelah A5000 lalu A6000, menyusul A7000. Usai P70, beralih ke P90. Lima seri tersebut cukup banyak dicari di pasar nasional Indonesia.
Huawei dan ZTE seakan tidak mau kalah. Meski masih bermain di segmen low end alias dibawah Rp. 1 Jutaan, dengan produk Huawei Y3. Sekedar informasi, pasar low end secara kuantitas sangat besar, tetapi daya beli tidak semanis jumlahnya. Justru ZTE yang ingin konsisten. Terakhir, ZTE mengeluarkan ZTE Blade S6, smartphone dengan desain menyerupai iPhone 6 seharga Rp. 3 Jutaan.
Jangan lupakan seri Lumia. Dibawah kendali Microsoft, beberapa seri Lumia yang sudah update dengan OS 8.1 seperti Lumia 640 LTE cukup dengan harga Rp. 2.1 jutaan sudah bisa dibawa pulang. Bahkan produk lainnya, Lumia 640 XL LTE yang menggunakan lensa Carl Zeiss 13 MP yang notabene sekelas smarphone Rp. 4 - 4,5 jutaan, cukup bisa ditebus dengan hara Rp. 3,8 jutaan.
Dua nama asal Prancis, Wiko dan Alcatel (u/ Alcatel dikelola oleh TCL Tiongkok), juga ikut meramaikan pasar mid end. Secara umum, pemain asing saling beradu di pasar yang sama. Vivo dari Taiwan juga layak dicatat sebagai salah satu yang sangat serius dengan cara pemasarannya sendiri.
Sony dan LG bahkan tak berani ambil resiko imbangi dua nama tadi. Lihat saja, LG dengan seri terbarunya, LG G4. Sangat tepat memilih angka Rp. 8,5 Jutaan, kendari secara mutu boleh sejajar dengan Galaxy S6. Sony belum melanjutkan seri Xperia Z-nya. Kabar burung akan merilis generasi Z4 ternyata dijawab dengan mengeluarkan seri Xperia Z3+. Tampaknya Sony akan pasang harga tak beda jauh dengan Xperia Z3 yang kini dijual di harga Rp. 6,9 Jutaan.
Dengan kata lain, sebenarnya di bawah level premium, ada layer high end yang lain, yaitu produsen smartphone yang memilih menjual produknya di harga Rp. 5 - 9 jutaan.
Era Mid End
Kalau kita melihat gerak gerik Xiaomi yang punya jurus sikat segmen low end dengan smartphone dengan harga terjangkau, Anda keliru. Benar bahwa Xiaomi mengurangi segala hal yang tidak perlu sehingga ketemu harga jual yang pas. Ini seperti strategi penerbangan murah, mengurangi layanan makanan, kemudian melakukan penjualan tiket lewat online dan mobile.
Xiaomi meniadakan earphone sebagai bonus paket penjualan. Menggelar flash sale / penjualan lewat online untuk memangkas biaya distribusi. Trik ini sekaligus untuk menjamin ketersediaan stok barang. Selain itu, resiko barang menumpuk akibat tidak laku di pasar juga dapat dihindari.
Walaupun demikian, Xiaomi tidak mau bermain - main di pasar low end yang identik dengan smartphone entry level seharga di bawah Rp. 1 Jutaan. Bahkan, di pasaran Xiaomi menjual produknya di rentang harga Rp. 1,5 - 3.8 Jutaan. Tidak mula memilih angka Rp. 4 juta ke atas yang sebenarnya sudah dikuasai rombongan smartphone kategori high end.
Singkat cerita, Xiaomi sesungguhnya tengah meramaikan segmen mid end. Segmen yang paling sesuai dengan tingkat pendapatan mayoritas kelas menengah Indonesia. Maka, ketika Asus memperbaiki semua produk, termasuk desain, kemudian lahirlah seri Zenfone (seri 4, 5, dan 6), saat itulah produsen smartphone asal taiwan tersebut terjadi. Sebuah hal yang tidak dilakukan pesaingnya sejak lama, Acer.
Lalu, siapa saja yang bermain di level mid end ini ?
Ada Lenovo yang sepak terjangnya setahun ini mulai agresif. Dua seri, A dan P dihadirkan dengan cepat. Setelah A5000 lalu A6000, menyusul A7000. Usai P70, beralih ke P90. Lima seri tersebut cukup banyak dicari di pasar nasional Indonesia.
Huawei dan ZTE seakan tidak mau kalah. Meski masih bermain di segmen low end alias dibawah Rp. 1 Jutaan, dengan produk Huawei Y3. Sekedar informasi, pasar low end secara kuantitas sangat besar, tetapi daya beli tidak semanis jumlahnya. Justru ZTE yang ingin konsisten. Terakhir, ZTE mengeluarkan ZTE Blade S6, smartphone dengan desain menyerupai iPhone 6 seharga Rp. 3 Jutaan.
Jangan lupakan seri Lumia. Dibawah kendali Microsoft, beberapa seri Lumia yang sudah update dengan OS 8.1 seperti Lumia 640 LTE cukup dengan harga Rp. 2.1 jutaan sudah bisa dibawa pulang. Bahkan produk lainnya, Lumia 640 XL LTE yang menggunakan lensa Carl Zeiss 13 MP yang notabene sekelas smarphone Rp. 4 - 4,5 jutaan, cukup bisa ditebus dengan hara Rp. 3,8 jutaan.
Dua nama asal Prancis, Wiko dan Alcatel (u/ Alcatel dikelola oleh TCL Tiongkok), juga ikut meramaikan pasar mid end. Secara umum, pemain asing saling beradu di pasar yang sama. Vivo dari Taiwan juga layak dicatat sebagai salah satu yang sangat serius dengan cara pemasarannya sendiri.
Apa Kabar produsen Lokal ?
Inilah yang kemudian membuat produk lokal sulit bersaing. Harus diakui, brand asing punya value lebih kendati secara mutu produk setara. Himax salah satunya yang tak ambil pusing. Tidak perlu menghamburkan uang untuk promosi ke televisi dengan ongkos puluhan miliar, cukup melakukan penetrasi ke pusat penjualan.
Himax tahu, era produk dengan spesifikasi low end sangat tak ramah. Perlu percaya diri yang tinggi membawa produk - produk di atas rata - rata ponsel lokal umumnya. Sebut saja seri Polymer Octa yang dilengkapi dengan prosesor Octa Core bikinan Mediatek berkecepatan komputasi 1.7 HGz, punya kamera 13 MP dan 5 MP, memori ROM 8 GB dan RAM 2 GB. Berapa Himax menawarkannya ? Cukup Rp. 2,3 Jutaan. Bahkan Lenovo pun hanya berani menjual P70 seharga Rp. 2.6 jutaan yang spesifikasinya sedikit lebih tinggi. Dan Lenovo adalah Brand yang lebih mudah diterima konsumen, Sebaliknya, Alcatel yang punya OneTouch Flash Plus, produk yang se-level dengan Polymer Octa dan P90-nya Lenovo bermain aman dengan harga di bawah Rp. 2 jutaan.
Lain cerita dengan dua nama lokal papan atas, Evercoss dan Advan. Dibanding Himax, nama mereka jelas lebih berkibar. Ketersediaan produk juga lebih masif. Serta mereka memiliki layanan purna jual yang tersebar dimana - mana.
Tetapi, Elevate Y2, produk terbaik Evercoss hanya mentot diangka Rp. 1.8 jutaan. Persis sama dengan produk kompetitor terdekatnya, Advan Barca di harga sama. Angka ini jelas tak aman, karena sebelumnya Alcatel mengusung OneTouch Flash Plus di harga Rp. 1.9 Jutaan. Dan Xiaomi punya Redmi Note dengan harga Rp. 1.9 jutaan pula.
Menurunkan harga lagi jelas bikin tidak realistis bagi produsen lokal. Mau bikin produk yang lebih dasyat lagi untuk ditempatkan di segmen mid end hanya akan membuat mereka jadi penonton saja.
Produk lokal yang ambil jalan aman lalu memilih menjadi nomor satu di level Rp, 500 ribuan. Ada beberapa nama lokal disitu, yaitu Pixcom, Aldo, Polytron, Micron, Asiaphone, SPC, dan Evercoss. Masalahnya, smarphone - smartphone Android low end ini hanya akan sukses di kota - kota kecil. Smartphone dengan layar 3.5 inci, memori RAM 512, dan kamera paling tinggi hanya 2 MP. Dan, produsen lokal tahu persis bagaimana memasarkan ke target pasar. Seperti Evercoss ketika masih menggunakan nama Cross.
Sumber :
Edisi Sinyal No 226/Thn XI, 19 Juni - 2 Juli 2015 (Agung / Andra)
Disadur oleh Ryan Anggasaputra
Smartphone Mid End Bikin Tren
Reviewed by Ryan Angga
on
1:19:00 PM
Rating:
No comments:
Post a Comment